Tadi siang, aku sempat mengobrol santai dengan seorang anak perempuan di kelasku. Seraya bermain, ia bercerita tentang diri dan rencana-rencananya. Aku menanggapinya dengan cerita dan rencanaku.
Begini ceritanya...
Arla : "Bu Kika, besok aku mau ke Jakarta."
Aku : "Sama siapa?"
Arla : "Sama Mama."
Aku : "Kalau bu Kika ke Jakartanya minggu depan."
Arla : "Bu Kika mau ngapain?"
Aku : "Mau ke undangan, teman bu Kika ada yang menikah."
Arla : "Wah, asyik banget sih ke undangan. Siapa yang menikah?"
Aku : "Andreas sama Puput."
Arla : "Yang perempuan yang mana? Yang laki-laki yang mana?"
Aku : "Andreas laki-laki, Puput perempuan."
Setelah mendapatkan jawaban, Arla menggumam dengan volume suara yang lebih pelan.
"Asyik banget sih bu Kika ke undangan."
Arla menggumam tetapi tetap fokus dengan mainannya. Hal itu jelas-jelas membuatku penasaran.
Aku : "Memangnya asyik kenapa, Arla? Kamu suka ya ke undangan?"
Arla : "Iya, aku suka banget ke undangan."
Aku : "Kenapa? Apa yang bikin kamu suka?"
Arla : "Aku bisa makan gratis trus dapet hadiah."
Aku : "Hadiah apa?"
Arla : "Itu lho kalau ke undangan setiap abis nulis suka dikasih hadiah. Aku suka."
Obrolan santai siang-siang yang memaksa aku senyum geli. Anak-anak beranggapan souvenir itu semacam reward kalau sudah berbuat hebat. Pertanda penghargaan bahwa hal yang dilakukannya adalah hal baik. Datang memenuhi undangan adalah hal keren karena akan dapat 'hadiah'. Pun mengucapkan doa yang merupakan hal baik. Bagi anak-anak tanda terima kasih itu sama dengan 'hadiah'.