Tulisan ini merupakan resume dari sebuah buku hebat yang aku baca. Buku berjudul asli '10 Most Common Mistake Good Parents Make: And How to Avoid Them' berdasarkan kisah nyata seorang psikolog bernama Kevin Steede, Ph. D yang menangani kliennya. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul '10 Kesalahan Orangtua dalam Mendidik Anak + Solusi Bijak untuk Menghindarinya'.
Dalam kehidupan sehari-hari, aku banyak sekali menemukan kasus 'anak nakal' yang jika ditelusuri sumbernya, 'kenakalan' tersebut biasanya berawal dari kesalahan orangtua dalam pengasuhan dan mendidik anaknya. Berikut ini, adalah 5 kesalahan pertama yang bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi orangtua dan juga guru.
·
Kesalahan
1 : Menanam Ranjau Mental
Banyak orangtua atau guru yang menanamkan
keyakinan pada anak bahwa ia harus menjadi
yang terbaik dalam segala hal serta harus selalu mencapai prestasi. Namun
tanpa disadari terjadi keyakinan yang salah ketika kita mendorong anak-anak ke
dalam aktivitas yang kurang diminati oleh anak. Anak akan memiliki kesulitan
untuk membedakan antara orangtua/guru yang sedang marah dengan arangtua yang
tidak lagi mencintai atau menyukai mereka. Beberapa orang dewasa yang telah
tertanam ranjau ini pada saat masa kanak-kanaknya akan sering mudah merasa
marah atau depresi ketika ia tidak mampu memenuhi apa yang diharapkan oleh
orang lain.
Untuk menghindarinya, anak-anak perlu dikenalkan dengan berbagai aktivitas
dan didorong untuk mengeksplorasi lebih jauh atas minat mereka. Anak-anak perlu
mengerti bahwa setiap orang memiliki minat serta kemampuan yang berbeda. Tugas
serta tanggungjawab orangtua untuk memastikan bahwa anak mengerti perbedaan dan
mengetahui bahwa ia dicintai tanpa syarat. Cinta orangtua dan guru seharusnya
bukanlah didasari oleh seberapa hebat prestasi anak-anaknya.
Banyak orangtua yang sering menuntut anaknya untuk tidak meluapkan emosi negatifnya, seperti marah, takut serta
perasaan lemah. Hal ini menjadikan anak-anak memiliki ketidakmampuan untuk
mengekspresikan emosi tersebut dengan cara yang tepat. Contoh perilaku yang
keliru ketika menghentikan ekspresi emosi anak misalnya, “Anak laki-laki tidak
boleh cengeng,” dan sebagainya. Setiap perkataan orangtua yang demikian dapat
diartikan oleh anak-anak bahwa mereka tidak memiliki hak untuk merasakan sebuah
emosi atau yang anak-anak rasakan adalah hal yang tidak penting.
Orangtua harus memberi keyakinan bahwa perasaan tertekan merupakan hal
yang wajar dan normal karena memang pada dasarnya emosi negatif yang muncul
tersebut merupakan hal yang benar-benar normal dan sehat. Semakin anak-anak
merasa nyaman dengan emosi-emosi apapun yang mereka rasakan akan membuat mereka
lebih terbuka untuk membina hubungan antarpribadi di masa mendatang.
Menuntut anak untuk selalu berbuat
baik agar dapat disukai oleh semua orang akan menimbulkan perasaan ragu,
tidak percaya diri, dan sering merasa gelisah. Rasa harga diri anak akan selalu
berada di bawah kendali orang lain. Anak-anak dan orang dewasa yang serius
meletakkan harga diri mereka pada opini orang lain akan rentan terhadap
hubungan yang abusive, tekanan teman sebaya serta situasi eksplorastif lainnya
yang tidak menyenangkan.
Mendorong anak-anak untuk melakukan hal yang diinginkannya meski
hal tersebut memerlukan persetujuan orang lain, orangtua dan guru telah membuatnya
memiliki harga diri. Anak-anak pun akan memiliki sikap teguh untuk melawan
segala tekanan dari teman sebayanya. Secara tidak sadar kita telah mengajarkan
anak-anak menjadi lebih kuat secara mental untuk mempertanggungjawabkan segala
hal dan patuh pada aturan tanpa memaksanya apalagi mengekang kebebasannya.
Terkadang, ada orangtua yang menuntut
anaknya agar tidak melakukan kesalahan bahkan melarangnya untuk meminta
pertolongan dari orang lain. Padahal sesungguhnya, membuat kesalahan adalah
hal yang manusiawi. Karena anak-anak yang memahami arti sebuah kesalahan tidak
akan menyalahkan diri sendiri selama proses mencoba dan memperbaiki kesalahan
yang telah dilakukan.
·
Kesalahan
2 : Menunggu Anak Berperilaku Buruk
Pada dasarnya, anak akan tumbuh ‘liar’ ketika sering mendapatkan perhatian
negatif. Semua anak ingin diperhatikan dan mereka akan tumbuh baik bila
orangtuanya dan guru memberikan perhatian yang positif pula. Namun kebanyakan
orangtua cenderung memperhatikan anak saat mereka melakukan sebuah kesalahan
atau berperilaku buruk. Sebaiknya orangtua dan guru perlu menghargai sebuah
‘kemajuan’ kecil yang dicapai oleh anak.
·
Kesalahan
3 : Tidak Konsisten
Banyak sekali alasan serta penyebab orangtua tidak konsisten terhadap penerapan aturan terhadap anak, misalnya karena waktu,
kesibukan, stress, atau kurangnya perhatian terhadap hal-hal yang sederhana.
Namun apapun alasannya, tanpa konsistensi yang terstruktur akan menimbulkan
berbagai variasi permasalahan perilaku anak. Faktor terpenting yang harus
dilakukan adalah penetapan aturan yang dapat diprediksi dan dilaksanakan secara
konsisten.
Hal yang dapat dilakukan secara konsisten adalah rutinitas sehari-hari
yang konsisten dan juga aturan. Rutinitas sederhana sehari-hari yang dilakukan
secara konsisten setiap pagi dan malam akan dapat mengurangi tingkat stress
pada anak. Jika ada perubahan rutinitas yang berubah, komunikasikan hal
tersebut sedini mungkin pada anak untuk mendapatkan pengertiannya. Beri anak
pujian dan ucapan terima kasih atas kerjasama yang telah ia berikan.
Selain adanya aturan yang konsisten, dibutuhkan pula penerapan disiplin
yang konsisten pada anak. Penerapan disiplin yang konsisten bukan berarti
memberi hukuman tanpa ampun. Menyusun konsekuensi berjangka waktu lebih pendek
namun konsisten akan lebih baik dibandingkan dengan menjatuhkan hukuman dalam
jangka waktu lama tetapi sulit untuk diterapkan. Ketika aturan dan disiplin
dilakukan oleh orangtua/guru secara konsisten dan tidak berubah-ubah maka anak
akan menjadi patuh, bertanggungjawab, dan tidak akan tergoda untuk menguji
aturan masih berlaku atau tidak.
·
Kesalahan
4 : Menutup Pintu Komunikasi Terbuka
Komunikasi sangat penting karena seiring bertambahnya usia anak, tingkat
pengawasan secara langsung dari orangtua akan berkurang secara signifikan. Tipe
orangtua yang perlu dihindari adalah,
Orangtua Otoriter, tipe
orangtua yang sangat mempertahankan kendali kekuasaan. Orangtua seperti ini
akan memerintah anak untuk bersikap dan bertindak dengan benar. Yang digunakan
hanyalah kalimat perintah dan ancaman.
Orangtua Penceramah, biasanya
selalu mematikan komunikasi dengan meluncurkan ceramah dan nasihat yang
sebenarnya sedang tidak dibutuhkan oleh anak. Biasanya kata-kata yang digunakan
adalah ‘seharusnya’,
Orangtua yang Suka Menyalahkan,
biasanya menginginkan anaknya mengetahui betapa superiornya mereka. Tujuan
utamanya hanya ingin anak-anaknya tahu bahwa orangtuanya lebih tua, lebih
bijak, dan selalu benar. Orangtua tipe ini cenderung melontarkan pernyataan
seperti ‘apa kubilang’, ‘kalau saja kamu mau mendengarkan’ dan sejenisnya.
Orangtua yang Suka Menggampangkan, seakan-akan
menghibur dengan cara cepat untuk menyelesaikan persoalan. Terkadang hal ini
menyebabkan anak menganggap bahwa orangtua benar-benar mengerti perasaan mereka
atau bahkan merasa tidak dipedulikan atas masalah yang benar-benar serius
menimpa mereka. Biasanya orangtua tipe ini akan melontarkan kata-kata seperti,
‘itu bukanlah hal yang besar’, ‘percayalah semua akan baik-baik saja’.
Yang harus dilakukan oleh orangtua agar dapat menghindari kesalahan berkomunikasi
dengan anak adalah jadilah pendengar
yang baik bagi anak. Orangtua harus memperlihatkan dengan jelas bahwa
mereka sungguh-sungguh menyediakan waktu untuk mendengarkan. Selain
mendengarkan, orangtua dapat mengajak anak untuk merefleksikan. Merefleksikan terbagi menjadi dua yaitu
level isi dan emosional. Level isi merupakan hal faktual yang terjadi dan
emosional adalah hal berkaitan dengan perasaan akibat dari kejadian yang
dialami. Orangtua juga perlu untuk mempelajari bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh anak.
·
Kesalahan
5 : Memainkan Peran untuk Menyelesaikan Masalah
Nurani orangtua untuk melindungi anaknya dari masalah merupakan hal yang
wajar. Namun terlalu dini menuntaskan
semua masalah yang dialami oleh anak akan menyebabkan anak tidak memiliki
kesempatan untuk belajar dari konsekuensi tindakan yang dilakukannya. Tanpa
sadar, orangtua mendorong anak menjadi serba tergantung daripada belajar untuk
mandiri. Jika tidak memberikan kesempatan untuk belajar mengenai konsekuensi
secara alami akan menimbulkan frustasi dan kemarahan pada masa mendatang.
Sebaiknya, orangtua melibatkan anak dalam memecahkan masalahnya. Orangtua
dapat tetap memiliki peran aktif namun dengan tetap melibatkan anak dalam
prosesnya. Pemecahan masalah dapat diawali dengan menyatakan persoalan yang
dimaksud dengan jelas dan tenang. Hal khusus harus dibahas secara jelas dan
detil untuk menghindari emosi memanas, saling menuduh atau saling menyalahkan.
bersambung........ ^^